Menyakinkan diri untuk menikah

Menikah adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh dua pihak secara sadar, mengikat dan memiliki sepaket kewajiban dan hak setelahnya. Ini adalah pengetian menikah secara sederhana yang saya pilih, setelah saya merasakan kehidupan pernikahan yang Alhamdulillah memasuki tahun pertama pernikahan saya dan suami.

Saat saya menulis tulisan ini terkait dengan materi sharing session yang akan diadakan bersama sebuah komunitas. Ada banyak hal bercampur dalam pikiran saya, jika itu membahas tentang sebuah kehidupan pernikahan. Karena saya percaya bahwa setiap individu memiliki cara mereka sendiri dalam mendeskripsikan bagaiamana kehidupan pernikahan mereka, serta alasan-alasan yang membuat mereka menikah.


Cerita saya, tentang menyakinkan diri untuk menikah.

Waktu itu tahun 2019 tepatnya sekitar awal tahun 2019. Saya mengalami yang notabennya dialami setiap orang yang berusia 20.an yaitu crisis kehidupan atau quarter live. Sempat berpikir untuk menyudahi hidup saya yang saat itu saya rasa sangat tidak berguna. Ditambah dengan rentetan luka masa lalu yang orang tua saya tinggalkan dan mulai terungkap terkadang membuat saya memikirkan, kenapa saya dilahirkan ? andai saya tidak dilahirkan pasti saya tidak akan mengalami sakit yang seperti ini (kala itu). Belum lagi saat itu saya mendapatan banyak tekanan tentang perkuliahan jenjang strata satu saya. Melihat sahabat dan teman-teman saya satu persatu sudah mendapatkan gelas strata satu mereka, membuat saya tertekan sedangkan waktu itu saya masih terkungkung dengan luka lama saya. Merasakan bagaimana saya berada dititik paling bawah dalam hidup. Merasa bahwa saya tidak layak untuk hidup, tidak berguna dan lebih baik untuk mengakhiri hidup ini saja.

Cerita itu mungkin terlalu berlebihan bagi sebagian orang, banyak yang mencibir bahwa saya tidak punya iman, dan lain sebagainya. Dan pada dasarnya hingga saya sadar apa yang benar-benar saya butuhkan. Sosok teman yang selalu ada buat saya, seseorang yang bisa saya sebut rumah, tempat saya diterima.

Dan Allah hadirkan dia sosok yang menemani hidup saya sejak lama, teman, sahabat dan kini menjadi patner hidup saya, dia yang menomor satukan saya dihidupnya, dia laki-laki sederhana yang mendengarkan dan menemani langkah kaki saya, bersama menemani menyelesaikan satu persatu luka batin yang saya derita, dan yang baginya saya sudah cukup. Baginya saya sudah istimewa dengan segala kekurangan diri saya. Dia yang saat ini saya sebut dengan rumah. Menerima tanpa syarat dan hingga saat ini dia yang mendukung serta mendorong saya untuk mengembangan diri saya sendiri.  Yang dengan celetuk santainya. Kata itu bertanya:

“ Dek, Yuk nikah “ , celetuk yang santai, dan tidak ada cerita lamaran romatis seperti karagan bunga atau cincin seperti di film-film dan sebagainya.  Rentetan cerita bagaimana saya bisa bertemu hingga menikah dengan dia akan saya kupas dilain kesempatan, kali ini saya akan berbagi tentang beberapa hal yang membuat saya mengambil keputusan untuk menikah

1.  Laki-laki itu sederhana dan bertanggung jawab

Akhir- Akhir ini saat saya sudah memiliki aktivitas dirumah dan sesekali bertemu teman dan saling menjaga persahabatan dengan media komunikasi, banyak yang ingin menikah namun problem pertamanya adalah belum ada calonnya.

Seperti pengertian menikah diatas, menikah memang tidak bisa dilakukan sendiri, jadi jika belum menemukan pasangan. Hal terbaik yang harus dilakukan adalah memantaskan diri, atau pengembangan diri sebaik mungkin, belajar dan pergi kebergai tempat, bermain, bersahabat dengan lingkaran yang baik. as long as you are happy. Jadi membuat diri kita bahagia itu adalah hal yang utama.

Dia laki-laki sederhana, terlahir dari latar belakang keluarga yang sangat berbeda dengan saya, dia yang katanya telah jatuh hati sejak pandangan pertama. Dia yang saya kenal sejak Sekolah menengah pertama hingga berkembang menjadi laki-laki gentlemen, bekerja keras. Yang dengan pelan dan setia menjadi teman hingga kini menjadi suami. Hehehe


2. Menerima dan Menyelesaikan Luka Batin Masa Lalu

Saya hidup dan besar dalam keluarga yang berbeda dengan kebanyakan teman-teman saya, membuat saya tumbuh dengan cara hidup saya sendiri. Kebebasan  yang saya rasakan membuat saya bebas pergi kemanpun, berteman dengan siapapun serta melakukan apapun yang bisa membuat saya senang dan lupa akan masalah yang sebenarnya semakin saya dewasa semakin saya memikirkannya. Namun karena hal itulah saya belajar dengan membaca buku-buku pengembangan diri. Genre buku favorite saya hehe.

Dari membaca saya belajar untuk mulai menerima semua luka, jika memang perlu untuk digali kembali kenapa tidak? Menggalinya untuk mencari kebenaran dan memperluas cara pandang saya melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan masa lalu orang tua saya. Dan hal itu yang awalnya menyakitkan kini menjadi hal yang saya syukuri, karena hal tersebut membuat saya belajar dan membuat saya berfokus untuk hidup saya yang sekarang saya jalani. Dan tentunya untuk masa depan saya serta pasangan.

Terkadang saya mengucapkan terimakasih untuk semua yang sudah terjadi dimasa lalu, yang sudah membuat saya mengerti dan tumbuh dengan cara saya hingga sekarang. Menyelesaikan luka batin dengan mengambil hikmah terbaik, serta berusaha untuk tidak membuat lingkaran kelam bagi kehidupan saya pribadi karena saya mengerti bagaimana perasaan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang seperti saya alami.

Hal ini penting untuk dilakukan, untuk siapa aja, sebelum memulai kehidupan perikahan diri kita sendiri, cobalah dengan lapang dada menerima luka batin masa lalu dan mengambil hikmahnya.


3. Belajar Mendewasa

Menikah muda mudah?, sebenarnya dalam hal menikah kita memiliki undang-undang perkawinan yang dengan jelas menyebutkan batas usia menikah. Dan selebihnya adalah faktor pribadi yang memilih kapan tepatnya menikah. Saya pribadi menikah di usia 24 tahun. Usia normal bagi perempuan untuk menikah. Yang membedakan saya dengan yang lain adalah karena saya menikah sebelum lulus kuliah dan belum bekerja.

Budaya kita menciptakan sebuah standart jika menikah normalnya setelah lulus kuliah dan sudah bekerja. Jika ada seseorang mengambil keputusan diluar itu. Akan terlihat berbeda. Namun pada dasarnya menikahlah ketika kita telah siap. Siap untuk mendewasa. Karena menikah itu dilihat dari dewasanya seseorang bukan berapa usianya. Karena bisa jadi yang seseorang yang berusia 20, 22 tahun itu sudah dewasa, dari pada yang usia 30.an yang masih bersifat seperti anak remaja. Yang paling mudah dinilai adalah bagaimana dia bisa berkomitment, bertanggung jawab dan menyelesaikan masalah dalam hidupnya.

 4.  Kesiapan Finansial setelah menikah

Kehidupan pernikahan itu bukan hanya soal cinta, setia saja. Namun ada unsur ekonomi atau finansial untuk menjaga keberlangsungan kehidupan. Dan hal ini sebaiknya mulai direnungkan baik secara pribadi dan dengan pasangan. Hal yang saya lakukan adalah bertanya pada diri sendiri. Bagaimana jika pasangan saya seorang wirausahawan, pegawai , atau serabutan. Hal yang demikian sebaiknya dipikiran secara pribadi karena ini juga akan berhubungn dengan kesiapan kita menjalani hidup secara mandiri dengan suami. Setiap profesi suami memiliki keuntungan dan kerugian sehingga kelak sebagai sosok istri, kita sudah siap menerima segala kemungkinan terburuknya.

Keberuntungan hidup seseorang tentunya berbeda, jika kita beruntung untuk memiliki tabungan banyak sebagian bisa digunakan untuk pesta pernikahan dan juga kehidupan setelah menikah. Akan tetapi kesiapan finansial setelah menikah justru lebih penting dari pada mengadakan pesta besar.

 

Menikah memang merupakan keputusan yang besar dalam hidup, sedangkan perilah bahagia dan tidaknya. Setiap orang memiliki standartnya masing-masing. Untuk itu kehidupan pernikahan akan terasa bahagia jika kita berfokus pada hal-hal yang sudah kita miliki saat ini, serta menjadikan ujian sebagai sesuatu yang mampu menguatkan diri kita juga pasangan.

Kematangan berpikir serta tindakan seseorang tidak ditentukan melalui jumlah usia. Namun dengan proses kehidupan yang mendewasakan siapa saja yang mau untuk mendewasa. Untuk itu pada usia berapapun ketika sudah yakin akan mampu menjalani segala hal yang akan terjadi dalam kehidupan pernikahan.  Maka menikahlah . . . .